PROBLEMA PENCATATAN PERKAWINAN KATOLIK DI KABUPATEN KARO
BETLEHEM KETAREN. BERASTAGI. Undang-undang No. 1/1974 yang
berlaku di negeri ini sejak 2 Januari 1974 (38 tahun silam) ternyata
belum berjalan baik. Walau menyangkut perkara kecil, namun sangat
penting bagi banyak orang karena menyangkut pencatatan perkawinan
orang-orang Katolik khususnya di Kabupaten Karo. Hal ini terkuak pada
rapat kerja Vikariat Episkopal St. Yakobus Rasul Kabanjahe [Jumat 9/3]
bertempat di Aula Paroki St. Perawan Maria Diangkat Ke Surga, Jl. Letnan
Rata Perangin-angin No. 28, Kabanjahe.
Sebagai nara sumber adalah Panpan Tarigan dari Kantor Catatan Sipil Kabupaten Karo. Diikuti seluruh pastor dan DPPH dari 7 paroki (Kabanjahe 1; Kabanjahe 2, Berastagi, Bandarbaru, Tigabinanga, Seribudolok, dan Lawedesky). RP. Ignatius Simbolon OFM Cap Vikep bertindak sebagai pengundang. Tujuan rapat ini adalah membicarakan peranan dan dampak catatan sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kawasan ini.
Dalam paparannya, Panpan Tarigan yang mengutip Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1/1974 serta peraturan pelaksanaannya PP No. 9/1975 Pasal 1 dan 2 menyatakan, pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya, selain Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan pertauran-peraturan yang berlaku.
“Pencatatan berkaitan dengan urusan gaji dan tunjangan bagi Pegawai Negeri serta urusan harta bersama dalam perkawinan, pembuatan Kartu Keluarga, pembuktian sahnya suatu perkawinan dan kepentingan-kepentingan anak yang lahir dari perkawinan itu,” terang Panpan.
Diskusi semakin sengit. P. Ignatius menegaskan, Gereja sangat berkepentingan atas “halal” atau “haramnya” anak-anak secara administratif. Diskusi semakin sengit juga karena peserta mengetahui biaya pengurusan akte perkawinan relatif mahal dan pengurusannya memakan waktu lama.
“Hanya 3 orang yang mengurus pencatatan perkawinan untuk semua umat Katolik. Padahal, jarak dan jumlah umat yang diurus sangat besar,” sebut Panpan.
Beberapa pastor, seperti P. Leo Joosten yang berpengalaman 6 tahun sebagai pembantu pencatat perkawinan di Pakkat-Parlilitan, begitu juga P. Ignatius di Kota Tebingtinggi, mengusulkan agar para pastor dan DPPH dilibatkan dalam urusan ini. Panpan menolaknya dengan halus karena tidak ada dana untuk pembantu pencatat. Selain itu, pengangkatan pembantu pencatat mempunyai prosedur baku.
Menjawab pertanyaan P. Moses Situmorang tentang biaya pencatatan perkawinan, Panpan menjawab: “Rp. 100.000 untuk perkawinan yang dicatatkan pada waktunya ditambah Rp. 100.000 untuk transportasi pencatat apabila perkawinan dilangsungkan dalam kota. Ditambah Rp. 100.000 lagi kalau pencatatan dilakukan sudah lewat waktu.”
“Bagaimana kalau perkawinan dilangsungkan di Kuta Kendit, Kuta Gugung atau lebih jauh lagi?” tambah P. Moses. Panpan mengatakan, peran serta masyarakat secara aktif sangat diutamakan dalam kepengurusan akte ini.
“Ini adalah problema. Ada yang mau membantu pencatatan, tapi dikatakan tak dibutuhkan. Kalau tak ada yang membantu, dikatakan kekurangan tenaga,” tandas P. Moses sebagai pastor Paroki Tigabinanga.
Pastor Ignatius berjanji akan bekerjasama dengan pihak Moderamen GBKP untuk berbicara kepada bupati agar Gereja dilibatkan dalam pencatatan ini supaya anak-anak diselamatkan dari cap “haram” secara administrasi negara. Mungkin karena kesulitan pencatatan ini para mempelai cenderung tidak ambil pusing terhadap tercatat atau tidak perkawinannya di Kantor Catatan Sipil.
sumber : http://www.sorasirulo.net
Sebagai nara sumber adalah Panpan Tarigan dari Kantor Catatan Sipil Kabupaten Karo. Diikuti seluruh pastor dan DPPH dari 7 paroki (Kabanjahe 1; Kabanjahe 2, Berastagi, Bandarbaru, Tigabinanga, Seribudolok, dan Lawedesky). RP. Ignatius Simbolon OFM Cap Vikep bertindak sebagai pengundang. Tujuan rapat ini adalah membicarakan peranan dan dampak catatan sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kawasan ini.
Dalam paparannya, Panpan Tarigan yang mengutip Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1/1974 serta peraturan pelaksanaannya PP No. 9/1975 Pasal 1 dan 2 menyatakan, pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya, selain Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan pertauran-peraturan yang berlaku.
“Pencatatan berkaitan dengan urusan gaji dan tunjangan bagi Pegawai Negeri serta urusan harta bersama dalam perkawinan, pembuatan Kartu Keluarga, pembuktian sahnya suatu perkawinan dan kepentingan-kepentingan anak yang lahir dari perkawinan itu,” terang Panpan.
Diskusi semakin sengit. P. Ignatius menegaskan, Gereja sangat berkepentingan atas “halal” atau “haramnya” anak-anak secara administratif. Diskusi semakin sengit juga karena peserta mengetahui biaya pengurusan akte perkawinan relatif mahal dan pengurusannya memakan waktu lama.
“Hanya 3 orang yang mengurus pencatatan perkawinan untuk semua umat Katolik. Padahal, jarak dan jumlah umat yang diurus sangat besar,” sebut Panpan.
Beberapa pastor, seperti P. Leo Joosten yang berpengalaman 6 tahun sebagai pembantu pencatat perkawinan di Pakkat-Parlilitan, begitu juga P. Ignatius di Kota Tebingtinggi, mengusulkan agar para pastor dan DPPH dilibatkan dalam urusan ini. Panpan menolaknya dengan halus karena tidak ada dana untuk pembantu pencatat. Selain itu, pengangkatan pembantu pencatat mempunyai prosedur baku.
Menjawab pertanyaan P. Moses Situmorang tentang biaya pencatatan perkawinan, Panpan menjawab: “Rp. 100.000 untuk perkawinan yang dicatatkan pada waktunya ditambah Rp. 100.000 untuk transportasi pencatat apabila perkawinan dilangsungkan dalam kota. Ditambah Rp. 100.000 lagi kalau pencatatan dilakukan sudah lewat waktu.”
“Bagaimana kalau perkawinan dilangsungkan di Kuta Kendit, Kuta Gugung atau lebih jauh lagi?” tambah P. Moses. Panpan mengatakan, peran serta masyarakat secara aktif sangat diutamakan dalam kepengurusan akte ini.
“Ini adalah problema. Ada yang mau membantu pencatatan, tapi dikatakan tak dibutuhkan. Kalau tak ada yang membantu, dikatakan kekurangan tenaga,” tandas P. Moses sebagai pastor Paroki Tigabinanga.
Pastor Ignatius berjanji akan bekerjasama dengan pihak Moderamen GBKP untuk berbicara kepada bupati agar Gereja dilibatkan dalam pencatatan ini supaya anak-anak diselamatkan dari cap “haram” secara administrasi negara. Mungkin karena kesulitan pencatatan ini para mempelai cenderung tidak ambil pusing terhadap tercatat atau tidak perkawinannya di Kantor Catatan Sipil.
sumber : http://www.sorasirulo.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar