Senin, 29 Oktober 2012

PERBERGU, PERMALIM ATAU HINDU KARO?


Dulu suku Karo dipandang tidak lebih dari bangsa kafir atau orang yang tidak percaya. Orang Kristen melihat suku Karo lama sebagai pagan atau penyembah berhala. Bagi etnolog Eropa, khususnya dari abad kesembilan belas dan permulaan abad ke dua puluh, yang banyak di antaranya terdiri dari kalangan misionaris atau para peneliti, suku Karo diangap golongan rakyat animis, atau penyembah roh-roh nenek moyang dan roh-roh halus.

Orang Karo, yang dalam dunia tradisionalnya, tidak membedakan antara kategori-kategori seperti “religion”, (agama), “magic” (kekuatan gaib), “custom” (adat istiadat), “culture” (budaya), “belief “” (kepercayaan), dan “ceremony” (perayaan).

 Berdasarkan uraian diatas, agama tradisonal Karo sering diidentikkan dengan istilah Perbegu. Perbegu erat kaitannya terutama dengan keberadaan begu, yakni roh-roh orang yang sudah meninggal. Ada berbagai acara ritual dan seremoni berhubungan dengan begu.

Dalam bahasa Indonesia modern istilah perbegu memberikan konotasi negatif seperti primitif dan sejenisnya, namun pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Seorang penulis baru-baru ini telah mengumukakan bahwa perbegu adalah istilah yang dipakai para misionaris dalam menterjemahkan kata“heiden” atau pagan atau kafir yang bersumber dari istilah Islam.

Orang-orang Karo sendiri lebih senang disebut kiniteken sipemena (bentuk kepercayaan asli) sebagai aliran kepercayaan kuno. Mereka bahkan lebih senang disebut beragama Hindu Karo daripada Perbegu, maka pada perkembangannya istilah perbegu mengalami pergeseran atau menghilang dari tulisan-tulisan mengenai kebudayaan Karo.

Pada jaman lama itu pada kepercayaan Karo tidak ada Kitab Suci dalam suatu bentuk yang tertulis, dan juga dapat ditemukan adanya ketidakkonsistenan, yakni unsur-unsur yang tidak dapat diperdamaikan secara keseluruhan tanpa penyimpangan. Adat-istiadat juga nampaknya berbeda pelaksanaannya pada tiap-tiap daerah yang berbeda.

Unsur yang paling penting pada kepercayaan lama  adalah begu, yakni roh seseorang yang sudah mati, dan secara khusus roh-roh nenek moyang yang telah lama meninggal. Menurut kepercayaan Karo, begu adalah jiwa atau tendi dari orang yang telah meninggal. Hal ini diungkapkan dari ungkapan populer berikut :

  - tendi jadi begu                  :   jiwa menjadi roh
  - buk jadi ijuk                      :   rambut  menjadi serat hitam kesat
 -  jukut jadi taneh                 :   daging menjadi tanah      
 -  tulan menjadi batu            :   tulang menjadi batu   
 - dareh jadi lau                    :   darah menjadi air
kesah jadi angin                 :   nafas menjadi angin

Tendi atau jiwa dapat dikatakan sebagai sumber dan dasar kehidupan dan kekuatan seseorang, yang diterima sebelum lahir, yakni pada waktu mana gerakan-gerakan pertama dari anak yang belum lahir, dapat dideteksi.
  
Tendi manusialah yang membuat seseorang berbeda dari binatang, yang memiliki jiwa atau tendi khusus, dan inilah sifat spiritual dari dunia spiritualitas (kinitendin), yang membuat seseorang berbeda dari semua makhluk ciptaan non manusia. “Manusia lain asang rubia-rubia erkiteken kinitendinna” adalah ungkapan bahasa Karo yang masih berlaku sampai sekarang ini.

Tendi  atau jiwa dapat meninggalkan tubuh, atau dijauhkan atau dipisahkan oleh pengaruh begu atau si jahat, yang melahirkan ketidaksadaran, koma atau kematian, bergantung kepada periode kevakuman tendi atau jiwa itu sendiri. Banyak sifat tendi diarahkan untuk menjamin bahwa tendi adalah suatu substansi dan tidak dapat disentuh sehingga tidak mengherankan dan akan tetap aman dari kekuasaan dan pengaruh yang menyesatkan.

Bisa dikatakan bahwa tendi berada dalam seluruh tubuh, akan tetapi lebih terbukti lagi, sebagaimana dikatakan oleh sekelompok orang bahwa tendi lebih terkonsentrasi pada tujuh titik-titik penting, yakni pada denyut tangan kiri dan kanan, lengan teratas kanan dan kiri, fontanel, jantung dan leher. Hal ini dikaitkan dengan gerakan-gerakan normal dan refleks tubuh.

Tendi atau jiwa terdapat pada bagian-bagian yang terpisah dari tubuh seperti rambut dan bantalan kuku, dan sebagian besar terdapat dalam plasenta dan cairan yang ditemukan selama proses kelahiran.

Plasenta sering dikubur secara cermat di bawah kolong rumah dan tendi-nya sering dianggap sebagai kembaran anak yang baru lahir dan yang akan memanggilnya sebagai agi (adik, baik laki-laki atau perempuan) yang terdiri dari jenis kelamin yang sama sebagai anak, dan sering menyampaikan doa di saat hendak tidur.

Cairan amniotik juga dianggap sebagai “substansi lain dalam diri” dan disebut kaka (kakak atau saudara yang lebih tua), dengan agi yang memiliki roh  plasenta, dapat pula dipanggil untuk meminta bantuan di saat menghadapi bahaya.

Tendi dapat hadir dalam seluruh organisme hidup dan dalam sejumlah benda mati yang memiliki kekuatan besar seperti besi. Padi dikatakan pula memiliki jiwa atau tendi yang sangat kuat dan dipergunakan dalam acara ritu pemberkatan untuk menguatkan tendi manusia, misalnya, mengembalikan seseorang yang telah lama menghilang.

 Dalam diri seseorang tendi akan membentuk tiga lapisan, yakni kula (tubuh), tendi (jiwa) dan kesah (roh atau nafas), dan setelah kematian, setiap bagian ini akan mengalami nasib yang berbeda. Tubuh, yang terdiri dari rambut, daging, tulang dan darah, akan semakin menyusut menjadi bagian dari tanah sebagai bahan dasar pembentuknya. Jiwa yang membentuk kepribadian dan identitas individu, akan menjadi begu yang tinggal dengan caranya sendiri. dan nafas atau roh akan segera menghilang ke udara.

Tendi merepresentasikan kekuatan hidup yang diamati dalam diri umat manusia dan makhluk hidup lainnya, suatu kekuatan hidup yang penuh dengan misteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar