Minggu, 28 Oktober 2012

MENJUNGJUNGI BERAS DALAM MISSA INKULTURATIF PEMBERKATAN PERKAWINAN KARO

MENJUNGJUNGI BERAS DALAM MISSA INKULTURATIF PEMBERKATAN PERKAWINAN KARO

Beras, selain sebagai bahan untuk makanan sehari-hari, dalam budaya Karo ternyata diartikan dalam makna religius, diantaranya: “beras-beras” = wejangan atau nasihat; “beras” = jantan, sebutan halus untuk alat kelamin anak laki-laki; dan “beraspati” = roh, jiwa yang mempunyai tempat tertentu (bandk.Darwin Prinst: Kamus Karo-Indonesia, 2002).

Menjunjung Beras Piher dalam Konteks Tradisi Karo

Menjungjungi beras sebagai suatu ritus dalam tradisi Karo, pada dasarnya merupakan suatu simbol dalam penyampaian rasa syukur, pujian, doa keselamatan atas seseorang atau beberapa orang atas kejadian-kejadian yang baru atau sedang dialaminya atau jabatan yang baru didapatkannya, agar terhindar dari marabahaya yang akan atau sedang mengintainya.

Dalam pelaksanaannya pada lingkaran kehidupan masyarakat Karo, ritus menjungjungi beras dikatakan “beras piher atau “beras tunggung” (“beras keras” karena yang sudah dijemur; “beras tunggung” karena dimuliakan sebagai beras khusus untuk upacara adat) dilaksanakan dalam suatu acara selamatan, dilakukan dengan meletakkan segenggam beras di kepala orang tersebut, yang duduk bersila diatas tikar putih dan dengan sopan menerima ucapan-ucapan yang diberikan kepadanya.
Orang yang mendapat mimpi buruk, orang yang luput dari bahaya, orang yang sembuh dari penyakit akut, orang yang baru tamat sekolah tinggi, orang yang menduduki jabatan terhormat, mempelai melangsungkan pernikahan biasanya dijungjungi beras  dalam upacara-upacara yang dihadiri dan dilakukan orang-orang dalam sistem kekerabatannya.
Sebagai ritus budaya, pada menjunjungi beras piher, pihak Kalimbubu sebagai pihak yang diagungkan biasanya mendapat kesempatan pertama menjungjungi beras tersebut disusul orang-orang dalam pihak Sukut dan kemudian diakhiri oleh pihak Anak Beru dan walau tatalaksananya tidak dibuat tertulis, namun pola pelaksanaannya biasanya hampir sama karena dipimpin seorang protokol adat.

Menjungjungi Beras Dalam Missa Inkulturatif Karo

Kehadiran Gereja katolik di Tanah Karo sejak tahun 1939 dengan kunjungan pastor Elpidius van Duijnhoven, OFM Cap di Sukajulu, Guru Kinayan, Munte dan Sembeikan, juga kehadiran pastor de Wolf, OFM Cap dan biara suster Fransiskanes St. Lidwina di Berastagi sejak sebelum tahun 1939 serta selanjutnya berdirinya paroki Tanah Karo sejak 3 Agustus 1948, ternyata tidak diiringi dengan usaha-usaha signifikan untuk mengubah tata adat Karo yang ternyata dipandang mapan dan sarat dengan nilai-nilai kebaikan, kesucian serta kesakralan, apalagi setelah dipelajari dengan lebih dalam,ternyata baik tata religi Karo mempunyai banyak kesamaan dengan tata religi katolik menyangkut penggunaan simbol-simbol sebagai pemersatu kutub yang tidak kelihatan dengan kutub yang nyata-nyata jelas kelihatan.
Hal itu nyata jelas dalam pelaksanaan pemberkatan perkawinan di Gereja katolik ritus upacara menjungjungkan beras piher dimasukkan dalam“aneka pemberkatan” sebagai suatu lambang inkulturasi.
Dalam upacara itu, imam memulainya dengan berkata: “Kujujungi beras piher kam duana, beras page si tunggung, maka piherlah kinitekenndu man Dibata, janah metunggung lagu langkahndu katawari pe” (Kujungjungi engkau berdua dengan beras piher, beras tunggung, kiranya kuat beriman engkau kepada Allah, dan kiranya serasi selaras dengan perbuatanmu).
Selanjutnya sambil menaruh beras itu keatas kepala pengantin secara bergantian, imam mengatakan perkataan-perkataan dibawah ini, perkataan –perkataan mana sangat kental sebagai ungkapan-ungkapan dalam ritus adat, sebagai berikut:
“Sada, ersadalah min pagi rusur arihndu ibas jabundu” (Satu, bersatulah selalu pemikiranmu dalam keluargamu ini);
“Dua, ula erdua-dua ukur muat si mehuli ras ndalinken pedah Dibata” (Dua, jangan berdua hati menerima kebaikan dan dalam menjalankan firman Allah);
“Telu, talukenlah si ilat ras si jahat alu perbahanen si mehuli” (Tiga, kalahkanlah kuasa kegelapan dan kejahatan dengan perbuatan baik);
“Empat, selpat liah-liah, nangtang banga kelaisa ras ukur gulut” (Empat, enyah sial, lepas malapetaka dan dan dukalara);
“Lima, ertima rejeki tuah raduken sangap” (Lima, Tibalah rejeki, tuah beserta kemujuran);
“Enem, gelem ulih latih” (Enam, genggam hasil pencaharian);
“Pitu, pitut ate kalak nembeh, ate kalak cian” (Tujuh, tutup segala kesialan, jangan membuat orang sakit hati dan dengki);
“Waluh, naruh toto ras pasu-pasu Kalimbubu, Anak Beru ras Senina” (Delapan, Datang dan hadir doa dan berkat segenap kerabat);
“Siwah, nilah kerina si la mehuli ibas perdalinen geluh perjabunndu” (Sembilan, singkirlah semua yang buruk dalam perjalanan perkawinanmu);
“Sepuluh, ersepuh babah nibelasndu ibas si mehuli ibas pebelangken Kata Dibata” (Sepuluh, bersepuhlah bibirmu mengucapkan kebijaksanaan dalam menyampaikan pesan Allah);
“Sepulusada, ersadalah tendindu duana, ersada perukuren ras penggejapenndu ibas jabundu” (Sebelas, bersatulah jiwamu, berpadulah segenap pikiran dan perasaanmu dalam keluargamu).
Semua ungkapan-ungkapan itu ditutup imam dengan Tanda Salib: “Ibas gelar Bapa, ras Anak ras Kesah Sibadia”, dan umat menjawabanya dengan “Amin” dan “E me buaten!”. Lalu imam juga memberi kesempatan kepada pihak Kalimbubu, Sukut dan Anak Beru dari kedua belah pihak mempelai untuk secara bergantian menyampaikan doa-doanya melalui beras piher yang dijunjungi ke kepala ke kedua mempelai secara bergiliran menurut gilirannya.

Sharing Umat dan Hadirin Terhadap Missa Ilkulturatif Karo

Missa Inkulturatif Karo pada upacara pemberkatan tersebut pada dasarnya  sangat menggugah hati umat maupun para hadirin (Sangkep Nggeluh, segenap kerabat) yang pada umumnya terdiri dari orang Karo. Terlebih-lebih tetua-tetua Karo merasa sembuh rangka (terpuaskan kerinduannya) dengan doa-doa lama dan ritus menjungjungi beras yang diangkat kedalam doa dan ritus pemberkatan pada missa inkulturatif ini.
Oleh : Betlehem Ketaren SH, Sekretaris DPPH St. Fransiskus Asisi Berastagi, Anggota Missale Romanum Karo KAM.

sumber : http://www.sorasirulo.net

1 komentar:

  1. Apakah bapak Bisa member masukan pada Saya tentang tradisi njujung beras piher ini?

    BalasHapus