Friday, August 17, 2012, 04:05 AM

“Dengan tape kita berusaha mengenang kesengsaraan di pengungsian, bersyukur atas kemerdekaan dan sekaligus berharap kiranya pemuda-pemudi sekarang berjuang menjadi ragi negara ini!” jelas Ketaren.

“Bahkan, kami pernah ke Deleng Pertekteken sampai ke Semangat Gunung untuk itu,” sebut yang lain.
“Mengapa hanya desa ini yang merayakan Tujuhbelasan seperti ini? Desa Gurusinga, Desa Kaban, Rumah Berastagi, Ajijulu, Ajibuhara, Ajijahe, Ketaren, toh desa itu sebelah menyebelah dengan desa kita tidak membuat tape,” tanya yang lain di kedai itu.
“Itu saya tidak tahu. Mereka tentu bebas membuat atau tidak membuat perayaannya sendiri!," tegas Ketaren yang mengaku pernah ikut berjuang namun tidak dapat veteran ini.
Memang, proses pembuatan tape dengan bulung birah membutuhkan sekaligus menggelorakan kembali semangat perjuangan. Setiap tanggal 14 atau 15 Agustus pemuda-pemudi desa bersama-sama mencari daun tape. Di hutan mereka berebut daun, baik yang masih belum dipotong atau yang sudah dipotong teman bahkan yang sudah ditumpukkan yang lain sehingga menimbulkan suasana meriah bahkan juga bisa sedih.
Sepulang dari napak tilasnya pemuda pemudi disambut orangtuanya dengan cerita akan kenangan mengungsi. Gerakan pencarian daun tape biasanya berlanjut ke keakraban muda-mudi sehingga ada saja yang kawin sebelum kerja tahun, namun kebanyakan merencanakan kerja tahun di bulan Oktober menjadi ajang Guro-guro Aron yang lebih meriah.
Malam hari tape dibuat dengan bahan nasi ketan putih atau ketan hitam yang dicampur ragi. Orangtua berpesan agar adonan atau bungkusan tape tidak bisa dilangkahi, lalu diangkat ke para (loteng tempat penyimpanan). Esoknya, tanggal 16 Agustus, anak-anak biasanya sudah mulai bertanya apakah tape sudah bisa dimakan. Orangtua biasanya menanamkan kesabaran kepada anak-anak itu.
“Kalau dibuka terlalu dini, semuanya akan gagal. Sabar, esok akan menjadi manis,” katanya.

Kisah-kisah heroik pejuang di medan perang kembali diceritakan sampai dengan serba-serbi pembangunan yang sedang berlangsung. Bagaimana kisah Selamat Ketaren di Sibolga, di Kabanjahe dan di Medan, bagaimana Dalan Nggit Sembiring (pemilik kilang papan Nanggalutu) dan kawan-kawannya menjaga kawasan sebelah kiri jalur Medan-Merek sehingga aman dari perahan gerilyawan jahat, diceritakan sebagai suatu kebanggaan. Bagaimana Mambar Sinuhaji sebagai pejuang yang gagah berani dari desa sebelah, Perang Bertah (Buluh Naman) menjadi konsumsi menemani tape yang terhidang di tengah-tengah tikar. Di rumah-rumah lain terdengar lagu-lagu seumpama “Erkata Bedil” atau “Sora Mido” diputar melengkapi suasana seperti Paska Jahudi mengenang kebebasannya dari tanah Mesir.
Hingga 5 tahun lalu, setiap halaman rumah berkibar bendera Merah Putih dan mereka menegur siapapun yang tidak mengibarkan bendera di depan rumahnya. Namun kini, dengan perubahan-perubahan jaman, terutama perubahan-perubahan yang komplek di negeri ini, membawa anak Desa Raya mengubah perayaan Sabat-nya. Anak-anak desa ini memesan tape, makan tape lalu pergi melaksanakan tugas sehari-hari. Sebahagian yang tetap menghargai Sabat mengisi Sabatnya dengan menonton pawai di Berastagi atau Kabanjahe.Semoga saja nilai perjuangan merebut daun tape dan nilai ragi tetap tak berubah, terlebih nilai-nilai perjuangan yang telah diceritakan orangtua tetap bersemayam dalam hati.
Itulah pesan diskusi kedai Jimson Damanik di simpang Raya tadi pagi bersama Sora Sirulo. MERDEKA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar